JAKARTA, suaramerdeka-pantura.com - Komisaris Besar Polisi (KBP) Dwi Agus Prianto, S.I.K.,M.H., berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum, Universitas Jayabaya Jakarta dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,90 dengan predikat cumlaude.
Acara yudisium diselenggarakan di Ruang Sidang/Ruang Yudisium Gedung Rektorat Lantai V Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, Jakarta, Jumat (10/3/2023) pukul 16.00.
Yudisium dipimpin Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, Moc.Sc.,Ph.D. Turut dihadiri Direktur Program Pascasarjana Dr.H. Yuhelson,S.H.,M.H.,M.Kn, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan,S.H.,M.H., Wakil Direktur I Program Pascasarjana Dr.Ramlani Lina Sinaualn,S.H.,M.H.,M.M dan Sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Hukum Dr. Maryano,S.H.,M.H.,CN.
Dalam yudisium tersebut, delapan mahasiswa lulus Program Doktor Ahli Hukum. Kombes Pol Dwi Agus Prianto menempuh program Doktor Ilmu Hukum selama enam semester atau tiga tahun.
Baca Juga: Kenakan Sarung Batik, Hakim PN Pekalongan Seru Main Futsal, Meriahkan HUT IKAHI Ke-70
Perwira menengah yang pernah bertugas sebagai Kepala Kepolisian Resor Tegal dan kini menjalani tugas di Badan Intelijen Negara (BIN) , menyusun disertasi berjudul Formulasi Penundaan Penanganan Perkara Pidana Dalam Sengketa Prayudisial Untuk Mewujudkan Kepastian Hukum dengan dipromotori oleh Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan, S.H.,MHum.
Dalam paparan singkatnya, Dwi Agus Prianto menyebut, perkara yang memuat prajudisial geschil terdapat perlakuan penanganan yang berbeda antara perkara satu dengan lainnya, tidak ada keseragaman dan kepastian hukum dalam penanganan prajudisial geschil.
Dampaknya banyak aduan dan komplain dari masyarakat karena merasa diperlakukan tidak adil dan tidak mendapat perlindungan hukum.
Dalam beberapa literatur dan yurisprudensi putusan peradilan, banyak sekali argumentasi para pihak berperkara yang mendalilkan bahwa perkara yang dihadapinya seharusnya tidak diperiksa terlebih dahulu dalam lingkup peradilan pidana, melainkan harus diperiksa diperadilan perdata terlebih dahulu karena memuat sengketa prayudisial.
Masing-masing institusi peradilan di atas pada dasarnya menerapkan hukum dan melakukan penindakan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan bidang kewenangannya.
Namun pada praktiknya, penerapan hukum dan penindakan terhadap pelanggar hukum seringkali melibatkan beberapa bidang kewenangan karena suatu perbuatan mengandung unsur-unsur yang diatur pada dua norma hukum yang berbeda.
Persinggungan antar norma hukum inilah yang selanjutnya menimbulkan ‘perselisihan pra-yudisial’, yaitu pada waktu yang bersamaan baik dalam lingkungan peradilan yang sama atau berbeda, terjadi titik singgung pemeriksaan antar perkara.
Adanya pertemuan dua norma hukum yang berbeda yang ditangani dalam proses peradilan berbeda inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai: (1) perkara manakah yang harus diputuskan lebih dahulu; (2) perkara manakah yang seharusnya ‘ditunda’ atau ‘dihentikan’ atau ‘ditangguhkan’; dan (3) sebagai alternatif, dapatkah kedua perkara dilakukan pemeriksaan secara bersamaan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Kejaksaan Agung Republik Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran nomor: B/230/E/EJP/01/2013, tanggal 22 Januari 2013, perihal penanganan perkara pidana umum yang obyeknya berupa tanah.