TEGAL, suaramerdeka-pantura.com - Warga keturunan Tionghoa di Kota Tegal, menggelar ritual kirab gotong Toa Pe Kong, sebagai tanda puncak perayaan Imlek di hari ke 15 atau Cap Go Meh, Minggu (5/2/2203). Sejumlah kongco (dewa) diarak menggunakan tandu, yang dipercaya dapat membawa keberkahan.
Kirab gotong Toa Pe Kong, sudah berlangsung sejak Sabtu (4/2/2023) lalu, dengan diawali ritual sembahyang laut di Pelabuhan Pelindo Tegal. Puncaknya, para kongco kembali diarak menggunakan tandu, mengelilingi jalan protokol pada Minggu (5/2/2023) siang.
Terpantau sejak Minggu pagi, warga keturunan Tionghoa memadati tempat peribadatan (altar) Kelenteng Tek Hay Kiong, untuk melakukan ritual pemindahan para kongco ke tandu yang sudah disiapkan.
Setidaknya ada enam tandu dominan warna merah disiapkan di altar. Tiga tandu terdepan, diketahui digunakan untuk Kongco Tek Hay Cin Jin, Ceng Gwan Cin Kun dan Hok Tek Ceng Sin.
Rohaniawan Kelenteng Tek Hay Kiong Tegal, Chen Li Wei Dao Chang mengatakan, kirab gotong Toa Pe Kong merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno.
“Pelaksanaannya berlangsung dua hari. Di mana untuk hari pertama kita lakukan dengan diawali sembahyang di laut dan hari kedua sembahyang di Kelenteng. Banyak masyarakat yang salah paham, bahwa di hari pertama itu para kongco dimandikan di laut. Padahal itu adalah upacara sembahyang mengenang kedatangan Kongco Tek Hay Cin Jin ke Tegal,” jelasnya.
Sempat dilarang
Berdasarkan catatan sejarah, kirab gotong Toa Pe Kong sempat terhenti selama kurang lebih delapan tahun. Tepatnya pada era 1990-1998 atau sebelum era reformasi, kegiatan itu hanya dilakukan dengan sembahyang di laut dan para kongco dibawa menggunakan mobil.
Menurut Tan Ming Shan, demikian dia akrab disapa, larangan kirab gotong Toa Pe Kong, muncul atas kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal, yang pada saat itu dipimpin Wali Kota Tegal, M Zakir.
“Larangan itu ada saat dijabat Wali Kota Zakir. Kurang lebih delapan tahun dia memerintah Kota Tegal, delapan tahun kita dilarang arak-arakan Toa Pe Kong,” imbuh Tan Ming Shan.
Ditambahkan, pelarangan kirab tidak memiliki alasan yang jelas. Saat itu alasannya selalu saling lempar. Di mana Wali Kota Zakir menyebut bahwa pelarangan berasal dari Organisasi Sospol. Akan tetapi sebaliknya, Sospol menyebut pelarangan dari Wali Kota Zakir.
“Setelah masa jabatan Zakir berakhir atau setelah reformasi pada 1998. Di Tahun 1999, kita kembali mulai menggelar kirab lagi,” singkatnya.
Sementara, Ketua Yayasan Tri Dharma Tegal, Gunawan Lo Han Kwee memaparkan, kirab dipercaya warga keturunan Tionghoa dapat membawa keberkahan, sehingga umat akan antusias menyaksikan dan ikut menggotong tandu para kongco.
“Para dewa itu seperti layaknya zaman dulu, melakukan inspeksi ke masyarakat. Maka umat yang dilewati akan bersembahyang dan percaya akan mendapatkan berkah,” tukasnya.