PEKALONGAN, suaramerdeka-pantura.com - Vita Anggraeni tak kuasa menahan tangis saat Andriyani, moderator acara menyanyikan lagu “Malaikat Juga Tahu” yang ditujukan kepada Vita dan Gilang Yaniar saat jeda acara. Lirik lagu yang dipopulerkan Dewi Lestari itu terasa sangat mendalam bagi Vita hingga selama beberapa menit, ia tenggelam dengan tangisnya. Sementara Gilang terlihat lebih tegar.
Peristiwa ini terjadi pada acara “Peran Society Engangement dalam Mendukung Indonesia Inklusi: Extreme Impact Action for Yayasan Cornelia de Lange Syndrome Indonesia”. Acara diselenggarakan Yayasan Cornelia de Lange Syndrome Indonesia bersama PT Gambaran Kasih Indonesia di Hotel Grand Dian Pekalongan, Sabtu (18/3) malam.
Vita dan Gilang adalah orang tua yang dikarunia anak penyandang Cornelia de Lange Syndrome (CdLS). Keduanya hadir pada acara itu untuk berbagi cerita tentang CdLS dan pengalaman mereka merawat anak penyandang CdLS.
“Anak saya prematur dengan berat 1,5 kilogram. Anak saya di inkubator selama tiga bulan tanpa BPJS Kesehatan,” kata Gilang mengawali ceritanya tentang anak pertamanya yang lahir pada 2012 lalu.
Menurut Gilang, pada bulan pertama anaknya belum terdeteksi CdLS. Namun, Gilang sudah merasakan ada keanehan pada anaknya. “Anak saya kok mukanya seperti alien, terlihat berbeda dengan bayi-bayi di inkubator lainnya,” sambungnya.
Perawat yang merawat anaknya mengatakan, anaknya menderita hydrocephalus. Namun, Gilang tidak yakin karena setelah ia mencari informasi tentang hydrocephalus, tanda-tanda itu tidak ada pada anaknya. Kemudian anaknya dirujuk ke rumah sakit di Yogyakarta. Di sanalah dokter menyampaikan jika anaknya menderita CdLS.
CdLS adalah kelainan genetik yang disebabkan mutasi spontan pada saat pembuahan yang tidak dapat dicegah, bukan karena virus maupun bakteri. Gangguan langka ini menyerang anak sejak dalam kandungan. Prevalensi kelahirannya 1: 30.000.
Anak yang terkena CdLS dapat mengalami keterlambatan perkembangan fisik, baik sebelum maupun setelah lahir, malformasi ekstremitas, serta gangguan intelektual.
Dilansir dari childrenshospital.org, penyandang CdLS memiliki fitur wajah yang khas, pertumbuhan tubuh yang melambat, masalah kognitif dan deformitas lainnya. Ciri lainnya, malformasi tangan dan lengan, mikrosefali, kejang, gangguan spektrum autisme, keterbelakangan organ seksual dan celah langit-langit.
Selain itu, cacat jantung, alis melengkung, atau alis yang bertemu di garis tengah, gangguan pendengaran, pertumbuhan rambut yang berlebihan, rabun jauh (miopi) dan kelainan gigi. Pada kasus sindrom Cornelia de Lange yang ringan, beberapa gejala di atas mungkin kurang serius atau bahkan tidak ada sama sekali.
“Hampir semua anak CdLS mempunyai ciri fisik yang sama dan ada kelainan bawaan. Seperti paru-parunya bermasalah, saraf juga rata-rata bermasalah, punya potensi kejang dan semua perkembangannya mengalami keterlambatan dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda,” kata Vita.
Vita menceritakan, dari ketiga anaknya, anak keduanya menderita CdLS. Paru-parunya bermasalah. Sedangkan anaknya Gilang bermasalah dengan jantungnya.
“Ada kelainan pada jantungnya saat lahir. Jantungnya bocor, pendengarannya bermasalah, pencernaannya juga bermasalah. Meskipun makannya banyak, tapi yang diserap hanya sedikit. Pup-nya banyak, sehingga badannya kecil,” paparnya.
Ketua Yayasan Cornelia de Lange Syndrome Indonesia Koko Prabu mengatakan, di Indonesia tercatat ada 160 penderita CdLS. Dari jumlah tersebut, 20 di antaranya ada di Jawa Tengah. Mereka tersebar di Grobogan, Kudus, Rembang Demak, Kota Semarang, Banyumas, Kebumen, Cilacap dan Solo.
Menurut Koko, selama ini belum ada pegakuan dari pemerintah tentang CdLS. Pihaknya terus mengupayakan pengakuan dari pemerintah. Yayasan Cornelia de Lange Syndrome Indonesia dan PT Gambaran Kasih Indonesia juga terus mengampanyekan CdLS kepada masyarakat dan pemerintah melalui gerakan “Extreme Impact”. Harapannya, kegiatan tersebut bisa mengetuk hati masyarakat dan pemerintah.